Thursday, September 30, 2010

Growing Up

0 Comment(s)
DEWASA. Sebuah kata yang masih asing terdengar di telinga saya. Sebuah kata yang masih tabu bagi kehidupan saya –yang berbeda dengan handai taulan sekalian.

Saya pernah membaca maupun mendengar sebuah kutipan:
Menjadi tua itu pasti. Tapi menjadi dewasa itu pilihan ...”

Dari kutipan tersebut saya dapat menangkap makna utamanya yakni orang yang telah berumur pun belum dapat disebut DEWASA. Namun walaupun menjadi dewasa itu pilihan, rasanya saya sama sekali tak menginginkan ini terjadi.

Saya heran, apa ada yang salah ketika seseorang menolak menjadi dewasa? Apa ada yang salah ketika kita ingin bangkit menatap dunia tanpa dibarengi dengan apa yang disebut pendewasaan? Apa dengan memilih tidak menjadi dewasa itu sebuah kesalahan fatal yang membuat kita dikucilkan oleh dunia? Apa dengan menjadi tidak dewasa kemudian seseorang tidak akan bisa berhasil di masa depannya?

Saya tahu saya amat sangat egois dan keras kepala. Tetapi asal kalian tahu, alasan saya sebenarnya adalah saya ingin semua orang masih seperti yang dulu, seperti yang pernah saya kenal sebelumnya. Saya benci teman-teman saya sudah banyak yang berubah. Ya, berubah seiring mereka beranjak dewasa, dan saya benci karena satu persatu mereka -yang telah beranjak dewasa- pun akhirnya meninggalkan saya yang membenci dirinya sendiri karena selalu berbeda dan tak kunjung bisa menerima kedewasaan tumbuh dengan sendirinya. 

Entah mengapa saya sering geli dan merasa aneh ketika seorang teman berkata:
“Udahlah sekarang kan aku udah gede.
atau
“Kayak anak kecil aja kamu. Dewasa, dong!”

Tidak, saya sebenarnya juga tak ingin terlalu bersifat terlalu kekanakan. Tetapi saya tak ingin sikap teman-teman sekaligus sahabat-sahabat semakin berubah. Semakin menjauh. Semakin berbeda. Saya tahu kalian semua sedang bersiap-siap untuk menyambut dunia dengan segala pemikiran yang matang dan jauh dari sifat kekanakan. Tetapi tidak bisakah kalian tetap bersikap apa adanya layaknya dahulu kita berteman. Saya tahu kalian pasti berpikir saya terlalu berlebihan menanggapinya. Saya hanya menginginkan kawan-kawan sekaligus sahabat-sahabat kembali pada saya. Tidak bersikap layaknya kita hanya seorang “acquaintance”. Saya ingin sekali menatap dunia bersama dengan orang-orang yang pernah saya kenal dahulu. Bersama orang-orang tercinta yang selalu menebar kasih dimanapun berada.

Saya juga benci dunia dewasa karena semakin lama permasalahan menjadi sedemikian rumit hingga kalkulus maupun aljabar pun tak ada yang bisa menggambarkan relasinya dalam sebuah matriks maupun rasionalitas bahasa matematik. Yang awalnya sederhana, misal bepergian dari kota A menuju kota B adalah hal mudah karena jalan mulus dan dilaksanakan sesuai prosedur yang ada, namun sekarang harus berputar berkali-kali dan bahkan sering menemui tebing terjal dan batu kerikil karena semua sudah tidak pernah mengindahkan metode yang telah ada sebelumnya.

Yang seharusnya teman ataupun sahabat baik memang sejatinya adalah orang terbaik yang pernah ada saat duka maupun suka. Mereka yang selalu menyediakan kaki, tangan, dan bahunya untuk menopang kita. Mereka yang selalu mempersembahkan senyum tulusnya untuk kita dan mereka yang tertawa bersama-sama saat kita bersama dalam suasana suka cita.

Sekarang –di dunia yang dewasa ini– sebuah definisi dari sahabat maupun teman tidaklah sesederhana pendeskripsian diatas. Sahabat maupun teman saat ini hanyalah sekedar status belaka tanpa dimaknai hakekatnya seperti apa. Kebersamaan hanya ada saat suka. Ketika kita kesusahan melangkah, tidak ada satupun kaki yang tersedia untuk kita topangi. Ketika kita kesulitan menjangkau, tak ada satupun tangan yang bersedia merengkuh dan membantu kita menggapai apa yang tidak sanggup kita raih seorang diri. Ketika kita membutuhkan sandaran, tak tersedia satupun bahu untuk sekedar memberi perasaan tenang. Dan ketika kita membutuhkan sebuah nasihat, tak ada satupun kata-kata terucap dari mulut seorang yang disebut teman untuk setidaknya meneduhkan hati kita yang tengah dilanda kemarau gersang.

Saya tidak tahu, apakah memang di dunia dewasa ini tidak ada yang bermakna sejati atau selamanya? Semuanya seolah-olah bersifat fana, sementara, dan akan menghilang malah ketika kita amat membutuhkannya. Saya juga tidak tahu apakah ini hanya dunia saya yang memang belum ada yang tahu arti kekal. Apakah memang saya belum bisa menemukan seorangpun yang tahu makna dari kata keabadian. Atau sesungguhnya tidak ada kata "sejati" dalam kehidupan sekarang. Entahlah. Sampai sekarang pun saya masih belum bisa menemukan jawabannya. Yang saya tahu dunia ini hanya penuh dengan tipu daya saja. Penuh dengan kemunafikan dan juga pengkhianatan. Penuh dengan segala sesuatu yang bersifat kiasan belaka. Penuh dengan sesuatu yang tidak bisa bertahan selamanya. Segala sesuatu pasti musnah. Hanya itu yang saya tahu selama ini dari esensi kehidupan orang dewasa.

Tapi suatu saat saya juga berharap saya bisa menemukan dunia dewasa lainnya yang sama dengan dunia-dunia saya sebelumnya dimana permasalahan tidak pernah menjadi rumit dan mudah diselesaikan. Dan jika saatnya tiba, saya akan melanjutkan renungan tentang growing up dan sesegera mungkin meralat semua pemikiran saya selama ini. Akhir kata saya mohon maaf sebesar-besarnya apabila ada pemikiran saya yang kurang berkenan di hati kawan sekalian. Untuk segala komentar akan sangat saya hargai, sebagaimana Kawan menghargai tulisan hasil perenungan saya selama ini. XOXO! :)

“ Sejatinya di dunia ini tidak ada yang namanya kekekalan. Semuanya hanya bersifat sementara, termasuk kehidupan dan segala isi-isinya. Maka dari itu hargai apapun yang kamu miliki dalam setiap nafas kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta ”
best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in best viewed in